+ -

Pages

Kamis, 06 Juni 2013

Pagerwesi dan kaitanya dengan Catur Purusa Artha

Hari  Raya  Pagerwesi  dilaksanakan  pada  hari  Budha  (Rabu)  Kliwon  Wuku  Shinta.
Hari  raya  ini  dilaksanakan  210  hari  sekali.  Sama  halnya  dengan  Galungan,  Pagerwesi
termasuk  pula  rerahinan  gumi,  artinya  hari  raya  untuk  semua  masyarakat,  baik  pendeta
maupun umat walaka. Dalam lontar Sundarigama disebutkan: "Budha Kliwon Shinta Ngaran
Pagerwesi  payogan  Sang  Hyang  Pramesti  Guru  kairing  ring  watek  Dewata  Nawa  Sanga
ngawerdhiaken sarwa tumitah sarwatumuwuh ring bhuana kabeh." 
Artinya: 
Rabu  Kliwon  Shinta  disebut  Pagerwesi  sebagai  pemujaan  Sang  Hyang  Pramesti  Guru  yang
diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk mengembangkan segala yang lahir
dan segala yang tumbuh di seluruh dunia.  
Kata "Pagerwesi" artinya pagar dari besi. Ini melambangkan suatu perlindungan yang
kuat. Segala sesuatu yang dipagari berarti sesuatu yang bernilai tinggi agar jangan mendapat
gangguan  atau  dirusak.  Hari  Raya  Pagerwesi  sering  diartikan  oleh  umat  Hindu  sebagai  hari
untuk  memagari  diri  yang  dalam  bahasa  Bali  disebut  magehang  awak.  Pada  hari  raya
Pagerwesi ini juga adalah hari yang paling baik untuk mendekatkan Atman kepada Brahman
sebagai  guru  sejati.  Pengetahuan  sejati  itulah  sesungguhnya  merupakan  "pagar  besi"  untuk
melindungi hidup kita di dunia ini. 
Dalam perayaan Pagerwesi ini umat memuja Sang Hyang Widi dalam manifestasinya
sebagai  Siwa  Mahaguru  atau  Sang  Hyang  Pramesti  Guru  (guru  dari  segala  guru).    Sang
Hyang  Paramesti  Guru  adalah  nama  lain  dari  Dewa  Siwa  sebagai  manifestasi  Tuhan  untuk
melebur  segala  hal  yang  buruk.  Dalam  kedudukannya  sebagai  Sanghyang  Pramesti  Guru,
beliau  menjadi  gurunya  alam  semesta  terutama  manusia.  Hidup  tanpa  guru  sama  dengan
hidup  tanpa  penuntun,  sehingga  tanpa  arah  dan  segala  tindakan  jadi  ngawur.  Lewat
bimbingan gurulah kita dapat mengusai pengetahuan dengan baik. 
Untuk  mempelajari  ilmu  pengetahuan  yang  diturunkan  saat  Saraswati,  kita
sesungguhnya  memerlukan  guru.  Dalam  hal  ini  peran  guru  sangatlah  mulia.  Saat
Pagerwesilah  umat  memuja  Tuhan  dalam  manifestasinya  sebagai  mahaguru.  Setelah  umat
mendapat  ilmu  pengetahuan,  teori  pengetahuan  itu  perlu  dipraktikkan  atau
diimplementasikan.  Dalam  mengimplementasikan  itu  perlu  guru  pembimbing  agar  tidak
disalahgunakan. 
Tentu  bisa.  Hindu  mengenal  ajaran  Catur  Guru  dan  Guru  Susrusa,  di  mana  umat
diajarkan  untuk  senantiasa  hormat  dan  bakti  kepada  Guru  termasuk  guru  spiritual.  Kita  di
2

Indonesia tentu bisa menjadikan Pagerwesi sebagai waktu yang tepat untuk melakukan Guru
bhakti. Di India sendiri, umat Hindu memiliki hari raya yang disebut Guru Purnima dan hari
raya  Walmiki  Jayanti.  Upacara  Guru  Purnima  pada  intinya  adalah  hari  raya  untuk  memuja
Resi  Vyasa  berkat  jasa  beliau  mengumpulkan  dan  mengkodifikasi  kitab  suci  Weda.  Resi
Vyasa  pula  yang  menyusun  Itihasa  Mahabharatha  dan  Purana.  Resi  Vyasa  sendiri  memang
diyakini sebagai Adi Guru Loka yaitu gurunya alam semesta. 
Sedangkan  Walmiki  Jayanti  dirayakan  setiap  bulan  Oktober  pada  hari  Purnama.
Walmiki Jayanti adalah  hari raya untuk memuja  Resi  Walmiki  yang amat berjasa  menyusun
Ramayana. Sama dengan Resi Vyasa, Resi Walmiki pun dipuja sebagai Adi Guru Loka yaitu
maha gurunya alam semesta. 
Dengan  demikian  kiranya  hari  suci  Pagerwesi  di  Indonesia  dengan  Hari  Raya  Guru
Purnima dan  Walmiki  Jayanti  memiliki  semangat yang searah untuk memuja Tuhan dan Rsi
sebagai  guru  yang  menuntun  manusia  menuju  hidup  yang  kuat  dan  suci.  Nilai  hakiki  dari
perayaan  Guru  Purnima  dan  Walmiki  Jayanti  dengan  Pegerwesi  dapat  dipadukan.  Namun
bagaimana  cara  perayaannya,  tentu  lebih  tepat  disesuaikan  dengan  budaya  atau  tradisi
masing-masing  tempat.  Yang  penting  adalah  adanya  pemadatan  nilai  atau  penambahan
makna  dari  memuja  Sanghyang  Pramesti  Guru  ditambah  dengan  memperdalam  pemahaman
akan jasa-jasa para Rsi, seperti Rsi Vyasa, Rsi Walmiki dan Rsi-rsi yang sangat berjasa bagi
umat Hindu di Indonesia khususnya. 
Sebagaimana  biasa, umat Hindu  melakukan persembahyangan di Pura atau bisa  juga
di  rumah/merajan  masing-masing.  Persembahyangan  umumnya  dilakukan  pada  pagi  hingga
siang hari, sekalipun ada pula yang sembahyang pada sore hari. Sedangkan menurut pedoman
sastra, pada tengah malam umat dianjurkan untuk melakukan meditasi (yoga dan samadhi). 
Yang menarik untuk dipahami juga bahwa Pagerwesi merupakan hari raya yang lebih
diperuntukkan  para  pendeta  (sang  Purohita).  Hal  ini  dapat  dipahami,  karena  untuk
menjangkau  vibrasi  yoga  Sanghyang  Pramesti  Guru  tidaklah  mudah.  Hanya  orang  tertentu
yang  dapat  menjangkau  vibrasi  Sanghyang  Pramesti  Guru.  Karena  itu  ditekankan  pada
Pendeta dan beliaulah yang akan melanjutkan pada masyarakat umum. Dalam Agama Hindu,
Purohita  adalah  Adi  Guru  Loka  yaitu  guru  utama  dari  masyarakat.  Sang  Purohita-lah  yang
lebih mampu menggerakkan atma dengan tapa brata. 
Meskipun  hakikat  hari  raya  Pagerwesi  adalah  pemujaan  (yoga  samadhi)  bagi  para
Pendeta  (Purohita)  namun  umat  kebanyakan  pun  wajib  ikut  merayakan  sesuai  dengan
kemampuan.  Banten  yang  paling  inti  perayaan  Pegerwesi  bagi  umat  kebanyakan  adalah
Sesayut  Pagehurip,  Prayascita,  Dapetan.  Tentunya  dilengkapi  Daksina,  Canang  dan  Sodaan.
Dalam hal upacara, ada dua hal banten pokok yaitu Sesayut Panca Lingga untuk upacara para
pendeta dan Sesayut Pageh Urip bagi umat kebanyakan. 
3

Sesayut  Pageh  Urip  bagi  kebanyakan  atau  umat  yang  masih  walaka.  Kata  "pageh"
artinya  "pagar"  atau  "teguh"  sedangkan  "urip"  artinya  "hidup".  "Pageh  urip"  artinya  hidup
yang  teguh  atau  hidup  yang  terlindungi.  Kata  "sesayut"  berasal  dari  bahasa  Jawa  dari  kata
"ayu" artinya selamat atau sejahtera. 
Sebagaimana telah disebutkan dalam  lontar Sundarigama, Pagerwesi yang jatuh pada
Budha  Kliwon  Shinta  merupakan  hari  Payogan  Sang  Hyang  Pramesti  Guru  diiringi  oleh
Dewata  Nawa  Sangga.  Hal  ini  mengundang  makna  bahwa  Hyang  Premesti  Guru  adalah
Tuhan dalam manifestasinya sebagai guru sejati. 
Mengadakan  yoga  berarti  Tuhan  menciptakan  diri-Nya  sebagai  guru.  Barang  siapa
menyucikan  dirinya  akan  dapat  mencapai  kekuatan  yoga  dari  Hyang  Pramesti  Guru.
Kekuatan  itulah  yang akan dipakai  memagari diri. Pagar  yang paling kuat untuk melindungi
diri kita adalah ilmu yang berasal dari guru sejati pula. Guru yang sejati adalah Tuhan Yang
Maha  Esa.  Karena  itu  inti  dari  perayaan  Pagerwesi  itu  adalah  memuja  Tuhan  sebagai  guru
yang  sejati.  Memuja  berarti  menyerahkan  diri,  menghormati,  memohon,  memuji  dan
memusatkan diri. Ini berarti kita harus menyerahkan kebodohan kita pada Tuhan agar beliau
sebagai guru sejati dapat megisi kita dengan kesucian dan pengetahuan sejati. 
Agama  Hindu  memberikan  tempat  yang  utama  terhadap  ajaran  tentang  dasar  dan
tujuan  hidup  manusia.  Dalam  ajaran  Agama  Hindu  ada  suatu  sloka  yang  berbunyi:
"Moksartham  Jagadhita  ya  ca  iti  dharmah",  yang  berarti  bahwa  tujuan  beragama  adalah
untuk  mencapai  kesejahteraan  jasmani  dan  ketentraman  batin  (kedamaian  abadi).
Ajaran tersebut selanjutnya dijabarkan dalam konsepsi Catur Purusa Artha atau Catur Warga
yang  berarti  empat dasar dan tujuan  hidup  manusia,  yang terdiri dari Dharma,  Artha, Kama,
dan Moksa. 
Dharma  merupakan  kebenaran  absolut  yang  mengarahkan  manusia  untuk  berbudi
pekerti  luhur  sesuai  dengan  ajaran  agama  yang  menjadi  dasar  hidup.  Dharma  itulah  yang
mengatur  dan  menjamin  kebenaran  hidup  manusia.  Keutamaan  dharma  sesungguhnya
merupakan sumber datangnya kebahagiaan,  memberikan keteguhan  budi, dan  menjadi dasar
dan jiwa dari segala usaha tingkah laku manusia.
Artha adalah kekayaan dalam  bentuk  materi/  benda- benda duniawi  yang  merupakan
penunjang hidup manusia. Pengadaan dan pemilikan harta benda sangat mutlak adanya, tetapi
yang perlu diingat agar kita jangan sampai diperbudak oleh nafsu keserakahan yang berakibat
mengaburkan  wiweka  (pertimbangan  rasional)  tidak  mampu  membedakan  salah  ataupun
benar.  Nafsu  keserakahan  materi  melumpuhkan  sendi-  sendi  kehidupan  beragama,
menghilangkan  kewibawaan.  Bahwa  artha  merupakan  unsur  sosial  ekonomi  bersifat  tidak
kekal berfungsi selaku penunjang hidup dan bukan tujuan hidup. Artha perlu diamalkan (dana
punia) bagi kepentingan kemanusiaan (fakir miskin, cacat, yatim piatu, dan lain- lain)
4

Kama  adalah  keinginan  untuk  memperoleh  kenikmatan  (wisaya).  Kama  berfungsi
sebagai  penunjang  hidup  yang  bersifat  tidak  kekal.  Manusia  dalam  hidup  memiliki
kecenderungan  untuk  memuaskan  nafsu,  tetapi  sebagai  makhluk  berbudi  ia  mampu  menilai
perilaku mana yang baik dan benar untuk diterapkan. Dengan ungkapan lain bahwa perilaku
yang baik dimaksudkan adalah selarasnya kebutuhan manusia dengan norma kebenaran yang
berlaku.
Moksa  adalah  kelepasan,  kebebasan  atau  kemerdekaan  (kadyatmikan  atau  Nirwana)
manunggalnya  hidup  dengan  Pencipta  (Sang  Hyang  Widhi  Wasa)  sebagai  tujuan  utama,
tertinggi, dan terakhir, bebasnya Atman dan pengaruh maya serta ikatan subha asubha karma
(suka tan pawali duka).
Perayaan  Pagerwesi  sesungguhnya  masih  merupakan  rangkaian  Saraswati.  Diawali
dengan  perayaan  Saraswati  kemudian  Banyupinaruh,  Soma  Ribek,  Sabuh  Mas  dan
Pagerwesi. Perayaan rangkaian rerahinan  itu  juga  mengandung konsep Catur Purusa  Artha :
Dharma,  Artha,  Kama  dan  Moksha.  Ketika  ilmu  pengetahuan  diturunkan  Sang  Pencipta
melalui  simbol  Dewi  Saraswati,  di  sana  terdapat  konsep  Dharma.  Selanjutnya,  setelah  ilmu
pengetahuan  dan  keterampilan  dikuasai  kemudian  digunakan  untuk  mencari  Artha.  Konsep
Artha  itu  tercermin  dalam  perayaan  Soma  Ribek.  Artha  itu  kemudian  digunakan  untuk
memperoleh  kesenangan  (Kama),  tergambar  dalam  perayaan  rerahinan  Sabuh  Mas.  Sabuh
Mas dikonotasikan serba gemerlap. 
Nah,  agar  kita  tidak  larut  begitu  saja  pada  kebahagiaan  jasmani  (lahiriah)  berupa
Artha dan Kama, pada perayaan Pagerwesi-lah kita diingatkan agar memagari diri sekuat besi
atau baja dengan pengetahuan spiritual agar mencapai kebahagiaan rohani (batiniah). Dengan
demikian  terjadi  keseimbangan  antara  kebahagiaan  jasmani  dan  rohani  yakni  Mokshartam
atau  Jiwanmukti.  Dalam  Pagerwesi  inilah  terkandung  konsep  Moksha.  Jadi,  rangkaian
rerahinan  dari  Saraswati  hingga  Pagerwesi  juga  sesungguhnya  mengandung  konsep  Catur
Purusa Artha. 
Hindu  sesungguhnya  tidak  alergi  dengan  Artha  dan  Kama,  tetapi  kita  tidak  boleh
sampai  terikat  atau  tergerus  oleh  keduanya.  Untuk  mencari  keduanya  mesti  dilandasi
Dharma. Karena itu diperlukan pengendalian berupa kekuatan spiritual. Jika materi dianggap
mengganggu,  bentengi  diri  dengan  spiritualitas  sehingga  mampu  menghadapi  problema
kehidupan  di  dunia.  Dengan  demikian  kita  bisa  mengendalikan  hidup  ini  menuju  arah
kesempurnaan. 
Urut-urutan  Catur  Purusa  Artha  tidak  boleh  ditukar-tukar  dengan  pengertian  :  Artha
yang  diperoleh  haruslah  berdasarkan  Dharma.  Kama  hendaknya  dilaksanakan  setelah
mendapat  Artha  sebagai  hasil  menunaikan  Dharma.  Karena  tiada  Moksha  yang  bisa  dicapai
tanpa melalui Dharma, Artha dan Kama. Maka mereka yang bisa melaksanakan Catur Purusa
Artha dengan baik, pastilah mencapai Mokshartam Jagaditaya ca iti Dharmah (secara pribadi)
5

dan  masyarakat  yang  individu-individunya  telah  mencapai  Mokshartam  Jagaditaya  ca  itu
Dharmah,  menjadi  masyarakat  yang  Satyam,  Siwam,  Sundaram,  masyarakat  yang  taat
beragama, bahagia lahir-bathin, rukun damai, aman-tentram dan saling menyayangi.
Kaweruhan  atau  ilmu  pengetahuan  yang  telah  diperoleh  saat  perayaan  Saraswati
itulah  hendaknya  dijadikan  benteng  yang  kuat  menghadapi  tantangan  hidup.  Ilmu
pengetahuan itu hendaknya dijadikan bekal untuk mencapai tujuan hidup yakni kesejahteraan
dan ketenangan batin. 
Dalam  perayaan  Pagerwesi  inilah  umat  sejatinya  diajarkan  tentang  kewaspadaan
menghadapi  berbagai  tantangan.  Dengan  demikian  kita  penuh  kesadaran.  Saat  kita
menghadapi  berbagai  tantangan,  kita  sejatinya  diajarkan  menarik  diri  ke  dalam  yakni
merenung.  Dengan  demikian  kita  dapat  dengan  jelas  melihat  persoalan  sehingga  mampu
mencari  solusi  pemecahannya  atau  memperoleh  jalan  yang  terang  tetap  berada  di  jalur
kebenaran. 
5 Rare Angon: Pagerwesi dan kaitanya dengan Catur Purusa Artha Hari  Raya  Pagerwesi  dilaksanakan  pada  hari  Budha  (Rabu)  Kliwon  Wuku  Shinta. Hari  raya  ini  dilaksanakan  210  hari  sekali.  Sa...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

< >